Assalamu'alaikum wr.. wb..
Mari semua konsentrasi kita ditujukan pada ayat 122 surat Al-An’am yang baru saja kita baca. Allah berfirman :
أَوَمَنْ
كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي
النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا
كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Apakah
sama orang yang mati, lalu Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya
(Qur’an) yang ia bawa berjalan di tengah manusia, dengan orang yang
berada dalam berbagai kegelapan di mana ia tidak bisa keluar darinya
(kegelapan-kegelapan itu). Demikianlah, diperlihatkan baik pada
orang-orang kafir itu apa saja yang mereka lakukan.
Melalui
kacamata Qur’an ayat 122 surat Al-An’am ini, kita bisa melihat bahwa
orang-orang yang tidak mau menerima kebenaran Qur’an, atau menerima
kebenarannya tapi tidak mengamalkan kandungannya dalam kehidupan dunia
ini serta tidak mau menyebarkannya di tengah masyarakat sesuai profesi,
mereka adalah orang-orang yang mati, alias bangkai-bangkai yang
berjalan, kendati secara lahiriah mereka hidup, bekerja, melakukan
sidang di parlemen, rapat kabinet, meeting bisnis, sekolah, berkumpul di
rumah bersama istri dan anak-anak, belanja di pasar dan seterusnya.
Bukan
hanya sampai di situ, menurut kacamata Qur’an, mereka hidup dalam
berbagai kegelapan yang berlapis-lapis, sehingga semua aktivitas
hidupnya bagaikan fatamorgana, dan selalu dalam keadaan bingung,
meraba-raba dan hidup tak jelas tujuan. (QS. An-Nur : 39 – 40)
Sebaliknya,
orang-orang yang menerima kebenaran Qur’an dengan semua kandungan dan
isinya kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, di manapun dia
berada, apapun profesinya, Qur’anlah yang menjadi petunjuk hidupnya,
maka mereka adalah orang yang benar-benar hidup.
Bukan hanya itu,
hidupnya dalam cahaya Allah yang terang benderang, sehingga semua
aktivitas hidup yang dijalankannya bernilai tinggi dan tidak ada yang
sia-sia, apalagi keliru dan tersesat. Dengan demikian, hidupnya menjadi
produktif, pemanfaatan waktunya sangat baik dan tidak ada yang digunakan
untuk perkara yang sia-sia, apalagi yang haram.
Pertanyaannya
kemudian adalah : Berapa banyak sih manusia yang berjumlah 6 milyar yang
hidup di atas bumi saat ini yang meyakini kebenaran Qur’an? Menurut
data terakhir, hanya 1.3 milyar yang mengakui kebenaran Qur’an, alias
Muslim, atau sekitar 21,6 % saja. Sedangkan 200 juta atau sekitar 15,38 %
ada di Indonesia.
Dari 200 juta yang mengakui kebenaran
Al-Qur’an di Indonesia, berapa persen yang bisa baca Qur’an? Berapa yang
benar-benar mengimani Qur’an sebagai dusturul hayah (landasan hukum
dalam kehidupan)? Berapa persen dari mereka yang membaca Qur’an setiap
hari? Berapa pula mereka yang memahami isi Qur’an? Berapa yang sudah
mengamalkan kendati sebagian kandungan Qur’an? Berapa yang mengamalkan
semua petunjuk Qur’an dalam semua aspek kehidupan?
Berapa persen
yang meyakini, membaca setiap hari, mengamalkan dan mengajarkannya
kepada orang lain, minimal kepada anak-anak dan istri mereka? Dan berapa
persen yang memperjuangkan Qur’an sebagai dustur ul hayah(landasan
hukum dalam kehidupan), khususnya sebagai dustur daulah (sistem negara)?
Menurut
data terakhir pemilu 2009 lalu, 4 partai yang berdasarkan Islam, hanya
mendapat sekitar 15 % suara pemilih yang jumlahnya sekitar 100 juta.
Artinya, kalau angka ini yang kita jadikan acuan hitungan, berarti hanya
sekitar 15 juta manusia di Indonesia ini yang berkeinginan menjadikan
Qur’an sebagai dusturul hayah (landasan hidup).
Dengan kata lain,
hanya sekitar 7.5 % dari penduduk Muslim Indonesia yang berminat
menjadikan Qur’an sebagai landasan hukum dalam kehidupan di dunia ini.
Kalau ditambah dengan yang tidak ikut pemulu 2009, katakanlah sekita 5 %
(10 juta), maka total umat Islam yang berminat menjadikan Qur’an
sebagai landasan hidup hanya sekitar 12,5 %, atau sekitar 25 juta saja.
Asumsi
angka tersebut di atas baru terkait dengan minat umat Islam untuk
menjadikan Qur’an sebagai landasan hukum dalam kehidupan. Sedangkan
minat saja belum cukup dan harus diimplementasikan. Kalau kita lihat
filosofi hidup, paradigma berfikir, program kerja, gaya hidup, sistem
politik, ekonomi, perundang-undangan, pertahanan keamanan, pendidikan,
budaya, pelayanan sosial yang dijalankan, khususnya oleh 7.5 % yang
memakai baju Islam dalam politik praktis mereka sejak era reformasi 12
tahun belakangan ini, maka sama sekali tidak memperlihatkan keinginan
mereka mejadikan Qur’an sebagai dusturul hayah (landasan hidup), apalagi
dustur daulah (landasan hukum negara).
Hampir satu katapun tak
terlihat dan terucap himbauan kepada pemerintah dan umat untuk kembali
kepada Qur’an sebagai satu-satunya jalan keluar dari berbagai krisis
yang sedang melilit negeri ini, apalagi melakukan Qur’anisasi sistem dan
peraturan pemerintahan. Kalaupun tidak berupa himbauan, dalam bentuk
keteladanan hidup dan berpolitikpun tidak tampak sebagai orang yang
meyakini dan membawa cahaya Qur’an di tengah-tengah masyarakat.
Sebab
itu, keributan2 apa saja di negeri ini sejatinya tak perlu ada,
khususnya bagi mereka yang menggunakan kacamata Qur’an. Jangankan 100
hari, 1,000 tahunpun tidak akan ada perubahan dan perbaikan, karena
menurut kacamata Qur’an, orang-orang yang tidak beriman kepada Qur’a,
atau beriman tapi tidak mau menjadikan Qur’an sebagai cahaya yang
menerangi kehidupan di dunia ini, ibarat orang-orang yang mati dan
berada dalam berbagai kegelapan.
Orang-orang seperti ini mustahil
mampu keluar dari berbagai permasalahan yang dihadapi, apalagi
mengeluarkan orang lain dari berbagai permasalah hidup ini. Amal
perbuatan mereka bagaikan fatamorgana, tersesat dan tidak akan pernah
medapat jalan keluar, khususnya keluar meraih keridhaan, keberkahan dan
rahmat Allah. Ajaibnya, mereka mengiranya sedang berbuat baik dan yang
terbaik untuk kehidupan. (QS.Al-kahfi : 103 – 105)
Nah, jamaah
sekalian… Kalau kita mau hidup dan di dalam kehidupan ini ada cahaya
Allah yang menerangi perjalanan dan aktivitas hidup kita, maka yakinilah
Qur’an itu sebagai dustrul hayah dan dustur daulah. Sebagai bukti orang
yang hidup, bawa cahaya itu ke tengah masyarakat di mana kita tinggal
bersama mereka, apapun profesi kita serta apapun resikonya.
Karena
untuk bisa menjadi orang-orang yang hidup dan mendapatkan cahaya Qur’an
tidak cukup hanya slogan dan klaim belaka. Kita harus memulainya dari
diri sendiri, kemudian diteruskan di rumah tangga, masyarakat dan sampai
ke Negara. Itulah satu-satunya cara agar kita bisa hidup dan tidak
menjadi bangkai-bangkai yang berjalan di atas muka bumi ini.
Allahumahdina fi man hadait!!
Lihat Keterangan poster dibawah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar